Islam Itu Agama Yang Indah Maka Renungkanlah

Segala puji bagi Allah rabb semesta alam. KepadaNyalah seluruh makhluk bertumpu dan mengadu, dari keterserakan asa, dari kelemahan daya, dari ketakmampuan usaha, dan dari kepandiran jiwa serta raga. DariNyalah keharmonisan alam berpadu, sehingga mengulunlah kasih dan sayang dengan penuh syahdu, maka lahirlah kemesraan meski terbingkai dari keragaman yang tak pernah satu.

 Segala puji bagi Allah rabb semesta alam Islam itu Agama yang Indah maka Renungkanlah
Islam itu Agama yang Indah maka Renungkanlah
Shalawat dan salam biar tetap tercurahkan kepada junjungan sekalian alam, Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, nabi epilog risalah, yang akibatnya dia diutus untuk menebarkan kasih sayang ke seluruh alam. Maka yakni indah sabda-sabdanya penuh harmoni. Tindak-tanduknya penuh lestari. Perintah-perintahnya sepenuh ketulusan memberi.

Larangan-larangannya sepenuh keikhlasan menyelaksai. Maka sungguh indah. Antara sabda dan lelakunya tak pernah saling menyelisihi. Pun perintah dan larangannya tak pernah ada saling menyalahi. Maka yaitu indah Islam agama yang mengajarkan kasih sayang, diturunkan oleh Dzat Yang Mahakasih dan sayang, diwahyukan melalui malaikat yang penuh kasih dan sayang, dan disampaikan untuk disebarkan kepada sekalian alam oleh nabi yang penuh kasih dan sayang. Sungguh indah agama yang dituntunkan oleh Dzat Yang Mahaindah lagi mengasihi keindahan.

Karenanya, Islam hadir di tengah-tengah ummat bukan untuk membelenggu. Ia hadir demi memperindah tatanan. Yang rusak, beliau perbaiki. Yang salah, ia betulkan. Yang bengkok, dia luruskan. Yang jelek, beliau baguskan. Yang kurang pandai, ia pintarkan. Yang baik, dia ajarkan. Yang merusak, beliau larangkan dan seterusnya. Islam hadir demi kasih sayang untuk sekalian alam.

Maka yaitu wajar, jika sang pengemban risalah penuh kasih dan sayang kepada ummatnya. Sebab, ia adalah cermin kawasan berkaca bagi kebengkokan-kebengkokan perilaku mereka. Sebab, ia yakni pelita yang membimbing bagi kegelapan-kegelapan hati mereka. Sebab, dia yaitu penentram yang mengarahkan bagi kegalauan-kegalauan jiwa mereka. Dan alasannya adalah beliau yaitu qudwatun hasanah, sang panutan lagi contoh bagi kehidupan mereka.

Memang indah. Ia yang tersurat sebagai penuntun ummatnya demi kehidupan yang lebih baik, di dunia dan darul baka, benar-benar menjadi acuan yang sempurna dalam setiap sisi kehidupannya. Maka ialah keserasian yang ia ajarkan. Maka yakni kelembutan yang ia tularkan. Maka yaitu keadilan yang dia sebarkan. Maka yakni kemuliaan hidup yang dia tawarkan. Maka ialah rahmatan lil alamin yang ia simpulkan, di tengah ummat.

Dan betul-betul indah ternyata dia benar-benar rahmatan lil alamin. Ajaran-ajarannya penuh sejuta pesan yang tersirat. Wejangan-wejangannya tak pernah meninggalkan bekas lara di dada. Anjuran-anjurannya selalu menyimpul ulang semangat yang membaja. Nasehat-nasehatnya selalu sempurna mengenai titik sasarannya, dan tanpa sedikitpun menyinggung amarah si empunya. Keadilan dalam berkata dan kejujuran dalam bersikap itulah pedomannya.
Maka lihatlah insan-manusia di sekitarnya. Tak pernah ada yang terciderai rasa. Tak ada pula yang pernah tersinggung kata. Semua dia tunaikan hak-haknya. Tak ada pembedaan. Tak juga pengistemewaan. Kecuali pada hal yang sudah digariskan, yakni ketaqwaan. Maka yang bangsawan tak tersanjungkan di hadapannya. Yang rakyat biasa saja juga tak terpinggirkan di majelisnya. Semua sama. Pun kaya dan miskin, tak ada beda. Masing-masing beliau tunaikan hak-haknya, dengan perlakuan yang semesti dan sepantasnya.

Sang Nabi memang penuh kasih sayang kepada semuanya. Tapi, kepada perempuan ia lebih lemah lembut daripada yang lainnya karena ia tahu kunci kelemahannya. Dan tersebab itu beliau pun bersabda kepada kita, selaku ummatnya, dalam riwayat Al-Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi, “Wanita itu tercipta dari tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok ialah atasnya. Jika terlalu keras meluruskannya engkau akan mematahkannya. Dan bila engkau membiarkannya, beliau akan tetap bengkok. Maka, berhati-hatilah memperlakukannya.”

Karenanya, ia tak pernah membentak kaum hawa. Sebab itu hanya akan mematahkannya saja. Tak pula dia terlalu memanjakannya. Karena ini hanya akan melenakannya semata. Seperti cerita turunnya surat Al-Ahzab ayat 28 dan 29. Ketika istri-istrinya meminta pemanis nafkah, dan berhasil menciptakan dirinya resah bercampur amarah. Tapi tetap saja tak ada kata-kata amukan yang tertumpah. Tak ada dampratan. Tak pula bentakan.

Atau mirip kisah Fatimah yang datang kepadanya meminta seorang pembantu rumah tangga. Meskipun yang hadir yaitu putri kesayangannya, namun tetap saja tak ada pemanjaan yang berlebihan. Tak ia kabulkan keinginannya. Dan tak ia berikan apa yang dimauinya. Justru ia tawarkan apa yang lebih baik dari yang diminta, bahkan lebih baik dari dunia dan seisinya. Maka dia nasehatkan semoga bertasbih, bertahmid, dan bertakbir tiga puluh tiga kali sebelum beranjak tidur sebagai gantinya.

Maka betul-betul indah ketika shahabat-shahabatnya beramai-ramai meniti setiap garis jejaknya. Seperti dongeng Al-Faruq, ‘Umar bin Al-Khattab, yang tengah naik mimbar dan mengkritisi tentang tingginya mahar yang diminta kaum hawa. Maka berdirilah seorang dari mereka menyela dengan suara tegasnya. “Apakah engkau hendak membatasi sesuatu yang Allah sendiri pun tak pernah membatasinya dalam kitab suciNya?” begitu ungkapnya.
Maka para hadirin terhenyak tak menyangka. Ternyata ada wanita yang sebegitu. Pun juga ‘Umar tak kalah kagetnya. Namun, tetap saja ada kasih sayang harus diberikannya, mirip panutannya yang begitu lemah lembut. Maka tak ada bentakan. Tak juga dampratan. Dan tak pula kata makian dasar perempuan badung. Maka yaitu ‘Umar menjawabnya dengan penuh kelembutan, “Engkau benar wahai saudariku. Akulah yang salah!”

Subhanallah. Sungguh keluhuran akal yang terbungkus dalam beningnya hati nurani. Maka terlahirlah keharmonisan, terjelmalah kemesraan, dan terpadulah kesetiaan dan pengorbanan. Islam itu memang indah.
Toh begitu tetap ada sisi lain yang harus dicermati. Ada potensi lain yang musti diwaspadai. Agar tak berakhir tragis bak ummat-ummat terdahulu. Seperti kisah bani Israil yang tak sanggup mewaspadainya. Maka dimusnahkanlah tujuh puluh ribu pasukan dari mereka dalam sekejap saja. Maka sang pengemban risalah terakhir pun lekas-lekas mewanti-perempuan kita, dengan bahasa kasih sayangnya yang teramat besar kepada ummatnya.

“Adalah dunia ini,” sabda beliau di sela-sela khutbahnya, “Sungguh indah nan mempesona tampak di mata. Dan Allah menyerahkan pemakmurannya kepada kalian; sebab Ia ingin menguji bagaimana amal-amal kalian. Karena itu, berhati-hatilah dari dunia, dan berhati-hatilah terhadap wanita.”

“Sebab,” lanjut dia dalam riwayat Imam Muslim, “Musibah pertama yang menimpa Bani Israil yaitu sebab perempuan.” “Maka,” pungkas ia dalam riwayat Imam An-Nasa’i, “Tak ada musibah yang lebih berbahaya sepeninggalku melebihi perempuan.”

Indah benar. Dua kutub yang saling berjauhan dipadukan dalam satu sulaman. Ia yang diwanti dan diwaspadai ternyata juga begitu disayangi. Maka ia pun tak terkekang hak asasinya. Dan tak jua terumbar kebebasannya. Ia dijaga tapi tetap dihargai. Juga dikaryakan sembari terus diawasi.

Maka lihatlah bentuk konkritnya pada sebarik cerita-cerita mengagumkan. Pada keteladanan agung kehidupan para salaf yang mulia. Pada ketakjuban adat tinggi mereka, pada keindahan eksklusif yang tersiram dari mata air yang suci, pada kelembutan yang tersinari dari pelita yang menerangi, Sang Nabi yang begitu terpuji. Maka tak ada penelikungan atas nama wanita. Tak ada pengekangan atas hak-haknya sebagai insan. Tak ada penodaan atas fitrah manusiawinya. Apatah lagi kezaliman pada kesucian dirinya. Ia benar-benar dijaga, tapi tetap dihormati. Betul-betul indah, seindah keagungan adab Sang Nabi yang begitu memukau jagad raya. Subhanallah. Lalu kita?

Sungguh, jauh panggang dari api. Ya, kita selaku ummatnya hanya bisa merenungi sambil mengintrospeksi diri: pada tutur kata kita, pada tingkah laris kita, pada kebeningan hati kita, dan pada kepandiran jiwa kita; sudah layakkah kita menjadi ummatnya? Lalu kita selaksai makna yang terkandung di dalamnya; sudah pantaskah kita, yang berikrar ke sana ke mari sebagai yang paling nyunnah, betul-betul menjadi pengikutnya? Setiap kita, saya dan anda, tentu lebih mengetahui apa jawaban pastinya. Sebab, masing-masing kita ialah yang paling tahu siapa diri kita yang sesungguhnya.

Maka, marilah kita menyelaksai makna, sambil terus menyelam di lautan ilmu, pada keteladanan agung nan indah itu. Untuk kemudian di sana kita belajar pada pengalaman-pengalaman hidup mereka yang syahdu. Lalu, ianya kita jadikan asas kebermaknaan dalam setiap langkah kita menuju kemuliaan. Setelah itu, langkah-langkah tersebut kita jadikan neraca teladan bagi jejak-jejak kaki kita meniti jalan perubahan.

Sumber Link

Subscribe to receive free email updates: