Pesan Tersirat Sholat Tahiyatul Masjid

( SHALAT ) DIBALIK HIKMAH SHALAT TAHIYATUL MASJID - Melaksanakan tahiyatul masjid merupakan bentuk pemuliaan terhadap masjid sebagai baitullah (rumah Allah). Kedudukannya seperti mengucapkan salam saat memasuki rumah atau mirip mengucapkan salam dikala bertemu saudara seiman. Imam Nawawi rahimahullaah berkata, “Sebagian mereka (ulama) mengungkapkannya dengan Tahiyyah Rabbil Masjid (menghormati Rabb -Tuhan yang disembah dalam- masjid), alasannya maksud dari shalat tersebut sebagai acara taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, bukan kepada masjidnya, karena orang yang memasuki rumah raja, beliau akan menghormat kepada raja bukan kepada rumahnya.” (Lihat: Hasyiyah Ibnu Qasim: 2/252)

Ketika seseorang memasuki masjid, janganlah beliau duduk sehingga melaksanakan shalat dua rakaat yang disebut dengan tahiyatul masjid. Dari Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ

“Jika salah seorang kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sebelum mengerjakan shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tujuan dari pelaksanaan shalat dua rakaat ini yaitu untuk menghormati masjid. Karena masjid memiliki kehormatan dan kedudukan mulia yang harus dijaga oleh orang yang memasukinya. Yaitu dengan tidak duduk sehingga melaksanakan shalat tahiyatul masjid ini. Karena pentingnya shalat ini, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tetap memerintahkan seorang sahabatnya - Sulaik al-Ghaathafani - yang langsung duduk shalat memasuki masjid untuk mendengarkan khutbah dari lisannya. Ya, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak membiarkannya duduk walaupun untuk mendengarkan khutbah dari lisannya, maka selayaknya kita memperhatikan shalat ini.

Begitu juga Jabir radhiyallahu 'anhu, ketika dia datang ke masjid untuk mengambil harga untanya yang dijualnya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau memerintahkannya untuk shalat dua rakaat. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hibban dalam Shahihnya, dari hadits Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, beliau pernah masuk masjid, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya padanya, “Apakah kau sudah shalat dua rakaat?” Dia menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Bangunlah, laksanakan dua rakaat!”

Maka berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, seluruh ulama setuju perihal disyariatkannya shalat tahiyatul masjid (Fathul Baari: 2/407). Bahkan sebagiannya -khususnya dari madzhab Dzahiriyah- beropini wajib dengan berpatokan pada dzahir hadits. Sedangkan jumhur ulama beropini sunnah, berdasarkan beberapa hadits lain yang memalingkannya kepada proposal. Di antaranya, hadits tentang shalat lima waktu, maka ada seorang pria bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Apakah aku punya kewajiban selainnya?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali jika engkau mengerjakan yang sunnah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

( Siapa yang dikecualikan dari perintah ini? )

Ada beberapa orang yang dikecualikan dari perintah shalat tahiyatul masjid, yaitu:

- Khatib Jum’at, apabila beliau masuk masjid untuk khutbah Jum’at, tidak disunnahkan shalat dua rakaat. Tapi beliau eksklusif berdiri di atas mimbar, mengucapkan salam kemudian duduk untuk mendengarkan adzan, lalu baru memberikan khutbah.

- Pengurus masjid yang berulang-kali keluar masuk masjid. Kalau dia melaksanakan shalat tahiyatul masjid setiap masuk masjid, maka sangat memberatkan baginya.

- Orang yang memasuki masjid saat imam sudah mulai memimpin shalat berjama’ah atau ketika iqamah dikumandangkan, maka ia bergabung bersama imam melakukan shalat berjama’ah. Karena shalat fardhu telah mencukupi dari melaksanakan tahiyatul masjid. (Lihat Subulus Salam, Imam al-Shan’ani: 1/320)

( Di Akhri Zaman Tahiyatul Masjid Diremehkan )

Syaikh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al-Wabil dalam kitabnya Asyratus Sa’ah menyebutkan bahwa salah satu tanda dekatnya hari kiamat yaitu munculnya sikap meremehkan sunnah-sunnah yang dianjurkan Islam dan Syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta'ala. Salah satunya adalah tidak melaksanakan tahiyatul masjid saat memasukinya, sebagaimana yang disinyalir dalam sebuah hadits, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku Mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَمُرَّ الرَّجُلُ فِي الْمَسْجِدِ لَا يُصَلِّي فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ

“Sesungguhnya di antara gejala dekatnya kiamat yakni seseorang melalui (masuk) masjid, namun tidak melakukan shalat dua rakaat di dalamnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya. Syaikh Al-Albani memasukkan hadits ini dalam Silsilah al-Ahadits al Shahihah: 2/253 no. 649 dengan menawarkan catatan kaki di bawahnya bahwa dalam sanadnya ada yang dhaif, tapi ia mempunyai jalur lain dari Ibnu Mas’ud yang memperkuat sanadnya).

Dan dalam riwayat lain disebutkan;

أَنْ يَجْتَازَ الرَّجُلُ بِالْمَسْجِدِ فَلَا يُصَلِّي فِيْهِ

“Orang melalui masjid tapi tidak melaksanakan shalat di dalamnya.” (HR. Al-Bazzar dan dishahihkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid: 7/329)

Dan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, beliau berkata,

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ تُتَّخَذَ المَسَاجِدُ طُرُقًا

“Sesungguhnya di antara tanda-tanda dekatnya akhir zaman ialah masjid dijadikan sebagai jalan (tempat berlalu lalang).” (HR. Musnad al-Thayalisi dan Al-Mustadrak al-Hakim. Shahih Al-Jami’ no. 5899)

Bahkan secara terang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang mengakibatkan masjid sebagai kawasan kemudian lalang tanpa ditegakkan shalat tahiyatul masjid saat memasukinya.

لَا تَتَّخِذُوا المَسَاجِدَ طُرُقًا ، إِلَّا لِذِكْرٍ أَوْ صَلَاةٍ

“Janganlah kalian jadikan masjid sebagai jalan (kawasan lewat), kecuali untuk berdzikir atau shalat.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabir: 12/314 dan al-Ausath: 1/14. “Sanad ini hasan, seluruh rijalnya (perawinya) tsiqat (terpercaya).” Lihat: Silsilah Shahihah no. 1001)

Sedangkan maksud menjadikan masjid sebagai jalan yaitu dengan menjadikannya sebagai daerah lewat atau berlalunya manusia untuk memenuhi hajat mereka. Masuk dari satu pintu masjid dan keluar dari pintu lainnya tanpa melakukan shalat di dalamnya. Sedangkan orang yang masuk masjid dan shalat di dalamnya tidak dikategorikan sebagai orang yang menyebabkan masjid sebagai tempat kemudian lalang yang dilarang.

Al-Hasan al-Bashri ternah ditanya, “Tidakkah Anda benci bila ada seseorang lewat di dalam masjid kemudian tidak shalat di dalamnya? Beliau menjawab, “Pasti (aku benci).” (Lihat al-Mushannaf milik Abdul Razaq: 3/154-158)

Subscribe to receive free email updates: