Dongeng Inspiratif Islam : Sedekah Vs Logika Honor Bulanan


Saya menduga dia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan. Karena penampilannya rapih, menarik dan wajah yang ganteng. Namun tidak mirip yang aku duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan. Jauh dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengan sikap hidup yang dijalaninya. Sangat terang saya lihat dan aku pahami dari beberapa kali perbincangan yang kami bangkit.

Satu kali kami bicara ihwal penghasilan sebagai guru. Bertukar informasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satu sekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita perihal dapur kami masing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-sama bernasib "guru" yang katanya jagoan tanpa tanda jasa. Yang membedakan sangat mencolok antara aku dan Mas Ajy yakni sikap hidupnya yang amat berbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik bahan.

Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untuk membiayai seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masih mempunyai tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya sampai tamat SMA. Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak lagi berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinya barulah bisa mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali dari jumlah yang diterimanya.

"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis."

"Maksud Mas Ajy gimana, saya nggak ngerti?"

"Ya, jikalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sesungguhnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang."

"Kenyataannya memang begitu kan Mas?", kata saya mengiayakan. "Mana mungkin dengan honor sebesar itu, kita mampu hidup damai, bisa sedekah. Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya.

"Ya, karena kita masih memakai acuan pikir matematis. Cobalah keluar dari medium itu. Oke, sakarang jawab pertanyaan aku. Kita punya uang sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yang seribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?"

"Tidak ada. Habis." jawab saya impulsif.

"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seribu rupiah. Dan seribu rupiah itu infinit. Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga."

Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agak tercenung pada balasan niscaya yang dilontarkannya. Bagaimana mungkin masih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana sisanya?

"Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kan sudah diberikan pada pengemis ", saya tak tabah untuk menerima jawabannya.

"Ya memang habis, sebab kita masih memakai logika matematis. Tapi cobalah tinggalkan teladan pikir itu dan beralihlah pada akal sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisa jadi puluhan lontaran doa keberkahan untuk kita keluar dari ekspresi pengemis itu atas bantuan kita. Itu gres satu pengemis. Bagaimana jikalau kita memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang infinit. Sementara nilai bakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC."

Subhanallah. Saya hanya terpaku menerima tanggapan yang dilontarkannya. Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui pola kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah memang berat. Sedekah menurutnya hanya mampu dilakukan oleh orang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab beliau merasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan mengembangkan.

Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjang melalui contoh relasi anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajy mirip ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkan untuk mencukupi kebutuhan orang renta, belum mampu membayar lunas jasa-jasanya. Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dan sejagat haru biru perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyak nilai yang dibayar untuk itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat.

“Terus, gimana caranya Mas, biar bisa menyeimbangkan nilai metematis dengan dimensi sedekah itu?”.

“Pertama, ingat, sedekah tidak akan menciptakan orang jadi miskin, tapi sebaliknya menjadikan beliau kaya. Kedua, jangan terikat dengan keterbatasan honor, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlah ke bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilai qona’ah, ridha dan syukur”. Saya semakin tertegun

Dalam hati kecil, aku meraba semua garis hidup yang telah aku habiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selama ini pandangan aku wacana bahan. Ada keterbungkaman yang lama aku rasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya menutup rapat egoisme kecongkakan aku dan membukakan perlahan-lahan kesadaran batin yang telah lama diabaikan. Ya Allah aku mendapatkan satu untai mutiara melalui pertemuan ini. Saya ingin segera pulang dan mencari butir-butir mutiara lain yang masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.

Abdul Mutaqin


Subscribe to receive free email updates: