Melacak Jejak Sejarah Muslim Rohingya Di Myanmar

Melacak Jejak Sejarah Muslim Rohingya di Myanmar Melacak Jejak Sejarah Muslim Rohingya di Myanmar
Seorang perempuan warga Rohingya dan anaknya menangis setelah tertangkap pasukan perbatasan Bangladesh (BGB). Pasalnya, mereka memasuki negara itu secara ilegal di Cox's Bazar pada 21 November 2016

Arakan atau Rakhine kini ialah sebuah negara bab yang terletak di barat Myanmar. Di wilayah tersebut, selama bertahun-tahun kekerasan berulang kali terjadi antara warga lebih banyak didominasi dengan muslim Rohingya.

Pada 2012, Rakhine menjadi sorotan dunia sehabis terjadi bentrok berdarah kedua kelompok yang menewaskan lebih dari 200 orang. Sementara 140.000 warga lainnya terpaksa mengungsi. Hingga ketika ini kekerasan belum berhenti terjadi.

Penyerangan ke tiga pos perbatasan pada 9 Oktober 2016 lalu memicu dilaksanakannya operasi militer di Rakhine, tepatnya di wilayah yang menjadi permukiman warga muslim Rohingya. Versi otoritas setempat, kebijakan ini merupakan langkah pembersihan terhadap segelintir orang yang mereka sebut sebagai kelompok militan dari kalangan Rohingya.

Namun belakangan, muncul dugaan penyalahgunaan wewenang oleh militer. Mereka dikabarkan melaksanakan pelecehan seksual, pembunuhan, dan pembakaran rumah serta gedung.

Terasing di negeri sendiri, tak mempunyai kewarganegaraan, didiskriminasi, dan menjadi sasaran siklus kekerasan yang tak terduga. Begitulah kurang lebih gambaran kondisi warga muslim Rohingya yang diberikan oleh Gregory B. Poling, analis dari CSIS.

Banyak kalangan di dalam negeri Myanmar, termasuk sejumlah tokoh agama dan para pemimpin politik, meminta supaya warga muslim Rohingya diusir melalui cara apa pun. Namun ada pula yang membela mereka meski kelompok ini dibenci, sehingga melahirkan kesenjangan politik.

Para tokoh masyarakat yang membela keberadaan muslim Rohingya bahkan akan dilabeli persona non-grata.

Selama ini, publik hanya mengenali Rohingya sebagai warga muslim minoritas yang teraniaya di Myanmar, sebuah negara yang mayoritas penduduknya menganut iktikad Buddha. Pertanyaan pun muncul, siapa bahu-membahu Rohingya?

Dari beberapa literatur, Rohingya disebut telah berdiam di Rakhine semenjak era ke-7, sebagian lainnya menyebut sejak abad ke-16. Nenek moyang Rohingya merupakan gabungan dari Arab, Turki, Persia, Afghanistan, Bengali, dan Indi-Mongoloid.

Populasi mereka di Rakhine mencapai lebih dari 1 juta jiwa. Sebagian besar hidup di Kota Maungdaw dan Buthidaung di mana di sana mereka ialah lebih banyak didominasi.

Melacak Jejak Sejarah Muslim Rohingya di Myanmar Melacak Jejak Sejarah Muslim Rohingya di Myanmar
Pengungsi Rohingya mengatakan enggan pulang karena tidak dianggap sebagai warga Myanmar.
Pemerintah Myanmar mengklaim bahwa Rohingya tidak memenuhi syarat untuk menerima kewarganegaraan di bawah UU Kewarganegaraan yang disusun militer pada 1982. Dokumen tersebut mendefinisikan bahwa warga negara adalah kelompok etnik yang secara permanen telah menetap dalam batas-batas modern Myanmar sebelum tahun 1823. Itu adalah tahun sebelum perang pertama antara Inggris-Myanmar.

Pemerintahan Jenderal Ne Win memasukkan 135 kelompok etnik yang telah memenuhi persyaratan. Dan daftar inilah yang masih digunakan pemerintah sipil Myanmar sampai saat ini.

Pemerintah kolonial Inggris disebut-sebut merupakan pihak yang mendorong migrasi Rohingya ke Myanmar. Ini yang memicu kebencian di dalam negeri negara itu, sehingga digunakanlah tahun 1823 sebagai contoh untuk memilih kewarganegaraan.

Cerita yang mayoritas berkembang di dalam negeri Myanmar yakni Rohingya merupakan pendatang gres. Warga muslim itu dikabarkan keturunan imigran dari Bangladesh pada masa kolonial. Namun menurut Gregory B. Poling, belakangan kisah ini terbukti palsu.

Pada 1799, seorang ahli bedah, Francis Buchanan, dengan perusahaan British East India berpergian ke Myanmar dan bertemu dengan warga muslim yang telah usang menetap di Rakhine. Mereka menyebut dirinya sebagai Rooinga atau penduduk orisinil Arakan.

Ini menandai bahwa warga muslim Rohingya sudah hidup di Rakhine setidaknya 25 tahun sebelum 1823.

Bahkan meski nama Rohingya terlalu tabu untuk diterima di Myanmar, sejarah menginformasikan secara terperinci bahwa kelompok etnik itu sendiri telah berada di Rakhine semenjak berabad-era silam.

Sebuah populasi muslim yang signifikan disebut telah hidup di Kerajaan Mrauk-U yang memerintah Rakhine dari pertengahan kurun ke-15 sampai final kurun ke-18. Tak hanya itu, raja-raja Buddha dari Mrauk-U bahkan menghormati umat muslim.

Menurut Poling, bukti tersebut menawarkan bahwa komunitas muslim itulah yang menjadi asal muasal Rohingya dikala ini. Kelompok ini lantas berasimilasi dengan gelombang imigran dari Bangladesh selama dan sesudah abad jajahan Inggris.

Kehidupan Rohingya di Bawah Diktator Ne Win

Pascamerdeka dari Inggris, pemerintahan parlementer Myanmar 1948-1962 mengakui kewarganegaraan Rohingya. Peristiwa ini sekaligus menyingkirkan kisah lama yang berkembang bahwa Rohingya merupakan "pendatang baru".

Seiring dengan diakui mereka pun mendapat dokumen-dokumen resmi dan menikmati banyak sekali akomodasi sebagai warga negara. Bahkan radio nasional mempunyai segmen khusus yang dibawakan dengan menggunakan bahasa Rohingya.

Eks peneliti di London School of Economics, Maung Zarni, mempunyai sejumlah dokumen berbahasa Myanmar yang menawarkan pengesahan pemerintah terhadap Rohingya selama masa kepemimpinan U Nu dan pada tahun-tahun awal pemerintahan diktator Ne Win. Beberapa di antaranya ialah pernyataan publik, siaran radio resmi, buku yang dicetak pemerintah, dan dokumen yang dikeluarkan pemerintah.

Pascakemerdekaan Myanmar, sejumlah anggota dewan perwakilan rakyat yang menyebut diri mereka sebagai warga Rohingya menentang dimasukkannya wilayah yang dihuni etnik itu ke bab negara Rakhine. U Nu pun pada 1961 memutuskan untuk menyebabkan Buthidaung, Maungdaw, dan Rathedaung sebagai wilayah Administrasi Perbatasan Mayu. Nama tersebut diambil dari nama sungai yang mengalir melalui daerah itu.

Kawasan tersebut terpisah dari Rakhine yang dihuni lebih banyak didominasi penduduk beragama Buddha. Kehidupan warga Rohingya berubah secara dramatis saat negara itu dipimpin oleh diktator Ne Win.

Dalam buku Burma: A Nation at the Crossroads yang ditulis Benedict Rogers, disebutkan salah seorang pejabat di era Ne Win mengaku bahwa sang diktator mempunyai kebijakan tak tertulis untuk menyingkirkan warga muslim, Nasrani, Karens dan beberapa etnik lainnya.

Pemerintahan Ne Win pun secara sistematis melucuti kewarganegaraan Rohingya. Dimulai dari pemberlakuan UU Imigrasi Darurat 1974 dan puncaknya yaitu UU Kewarganegaraan 1982.

Warga Rohingya yang bermukim di wilayah Administrasi Perbatasan Mayu "dilimpahkan" ke Rakhine. Dan semenjak saat itu, ratusan ribu dari mereka melarikan diri ke Bangladesh balasan dipicu serangan brutal pada 1978 dan 1991.

Praktis semenjak ketika itu hak-hak mereka terhadap dokumen resmi, pendidikan, pertolongan pemerintah, kepemilikan tanah, bahkan perkawinan terabaikan. Pemerintah Myanmar pun disebut menanamkan ingatan pada generasi muda bahwa Rohingya ialah kelompok penyusup, pencuri tanah dan peluang ekonomi yang bertujuan "menggulingkan" Buddha sebagai agama secara umum dikuasai di negara itu.

Subscribe to receive free email updates: